Pages

Rabu, 07 Oktober 2015

Dua Puluh



Rabu, 7 Oktober 2015

Hari ini, rasanya sama saja dengan hari-hari biasanya, tak ada beda. Bedanya, beberapa segmen kecil menghiasi hari dengan titik luka tepat di hati. Aku membungkus diri dengan baju warna cerah nan mencolok tak seperti biasanya. Aku berpikir, dengan begitu mungkin orang lain juga akan sama cerahnya melihatku. Sehingga tak ada kesenduan yang perlu diperlihatkan dalam bentuk apapun.

Angka 20 tercetak sangat besar dalam pikiranku. Tiada yang bisa kulakukan, selain menghembuskan kesyukuran atas waktu dan kesempatan yang Alloh berikan, serta sedikit terpikir akan kesedihan yang mendalam.

Aku belum siap. Seperti itu. Aku belum siap meninggalkan 19 tahun, 18 tahun, dan belasan tahun lainnya. Aku belum siap menjadi dewasa, seperti itu.

Teringat jelas beberapa tahun silam, saat dress putih selutut kukenakan di hari saat aku meniup lilin bersama adikku. Tentunya dengan ayah, ibu, dan beberapa teman yang datang sambil terus melihat ke arah dua buah kue tart besar berbentuk hati. Tentu, mereka juga berdandan sama cantik dan gantengnya dengan bedak tabur di wajah, yang orang jawa bilang “medhak-medhok”, sembari membawa bungkusan kado yang isinya tak pernah bisa kuingat sampai hari ini.

Itu dulu, bertahun-tahun yang lalu. Rasanya sudah sangat lama, saat dimanjakan usia yang belum seberapa. Orang tua masih cukup muda meski tidak terlalu muda. Raga masih terlampau bisa kemana-mana, melakukan apa saja tanpa kesakitan dan huru-hara. Dan masalah terberat dalam hidup hanyalah PR matematika.

Sudah bukan lagi saatnya merayakan ulang tahun, tepatnya. Meski setahun sekali dirasa hal yang cukup istimewa, namun tanggung jawab besar ada di depan mata. Semua orang sudah tentu menempuhnya.

Pun, berkurangnya jatah usia sudah semestinya mendewasakan. Jadi, semakin dekat saja diri ini pada batas kehidupan. Namun sebelum itu, ada fase hidup dunia yang harus dilalui dengan segenap besar hati.

Selamat berkurang jatah kesempatan hidup, wahai diri.


Semoga bisa bayar uang kuliah sendiri.

Minggu, 01 Juni 2014

Sampaikan pada Senja



Sampaikan pada senja, aku merindunya
Merindu jingga yang meneduhkan pandangan mata
Merindu suasananya untuk menanti malam tiba
Merindu pikuknya, saat banyak orang bergegas dari aktivitasnya
Hendak menuju rumah, kost, asrama, atau lain persinggahannya
Jingga begitu menentramkan jika kau rasa
Ia punya pesona yang berbeda
Ia punya makna dibalik mulai redupnya cahaya
Saat cinta tak lagi tersemai indah dalam asa
Saat rindu tak mampu kau nyatakan dalam suka
Jingga bisa meneduhkanmu sementara
Dan membiarkanmu hingga malam tiba


Senja, akupun merindunya


Saling Melengkapi



Katanya, di dunia ini, semua hal saling melengkapi. Kau tahu apa maksudnya? Mungkin keduanya tak sama. Keduanya berbeda. Dan perbedaan itu justru melengkapi satu sama lain.

Seperti bulan dan matahari. Keduanya berbeda. Bulan ada pada malam, dan mataharipun ada pada siang. Siang dan malam juga saling melengkapi. Siang itu terang, malam itu gelap. Namun keduanya saling melengkapi.

Sepatu yang kiri-kanannya berbeda, mereka saling melengkapi. Ibuku yang gemar bicara, ayahku yang begitu pendiam. Mereka saling melengkapi.

Seperti halnya kamu dan dia. Kalian jauh berbeda, bertengkar setiap harinya meski sebentar saja lalu kembali saling menyapa. Kalian saling melengkapi untuk bisa membuatku tertawa.

Dan aku?

Aku yang sakit ini. Apakah akan bersama seorang ‘dokter’ suatu hari nanti?