Pages

Kamis, 27 Februari 2014

Suatu ketika, engkau jatuh cinta.



Angin tak berhembus kali ini. Tepatnya, tak terasa. Di mushola yang sedang disinggahi banyak siswa. Meski begitu, hawanya tetaplah sejuk seperti biasa.

Jum’at yang sama seperti jum’at-jum’at yang lain. Ketika para pelajar akhowat berkumpul di mushola sesuai kelompok mereka.

“Demikian yang bisa saya sampaikan,” ujar salah seorang pelajar berseragam batik hijau dengan polosnya lalu menutup buku merah jambu di tangannya. Sebut saja Ani.

“Hmm.. Ada yang mau bertanya?” seorang perempuan yang usianya paling tua dan pakaiannya paling berbeda diantara mereka bertanya.

“Aku dong, mbak..” Rima segera berujar.

“aku tanya, kenapa..bla..bla..” Kinan langsung menyanggah.

“aku, aku!” Belum selesai Kinan dengan pertanyaannya, Erin tak mau kalah.

Pertanyaan mengalir satu persatu. Selesai seorang bertanya, seorang yang lain segera membuka mulutnya, bahkan belum selesai bicara terpotong segera oleh kawan lainnya. Pertanyaan mereka berbeda-beda, tapi intinya tetaplah sama. Perempuan berkerudung coklat itu tersenyum.

“Jadi intinya, ini lagi pada jatuh cinta?”

Peserta ‘lingkaran’ itu saling tersenyum mendengar “to the point” kakak seniornya. Baru saja, mereka dengarkan sekilas pembuka sebuah buku. Buku merah jambu, mudah ditebak apa isinya. Tak jauh-jauh dari fitroh mereka saat ini. Fitroh sebagai seorang manusia, remaja, wanita.

“Kalo mbak Sasa ditanya gitu, mbak mendingan pilih jadi anak kecil aja. Yang cuma tau permen sama balon. Dan gak kenal apa itu cinta,” jawab sang kakak kepada adik-adiknya.

“Tapi jaman sekarang juga banyak anak kecil yang tau cinta,”

Gubrak.

“oke, jadi intinya.. gimana caranya biar cinta itu gak ngeganggu kalian, kan?”

Mereka mengangguk.

“Jadi begini, adik-adikku..” sejenak kakak senior itu terdiam hendak berpikir. Ingin ia katakan, ‘cinta itu fitroh, semua orang bisa merasakannya. Caranya biar gak ngeganggu ya dekatkan diri sama Alloh’, tapi lidahnya kelu. Ia tertawa miris karena ia sendiri masih berpikir keras untuk bisa mengaplikasikannya pada dirinya sendiri.

“Alihkan cintamu pada Alloh!” Ani berujar mantap.

“Mbak, lha kalo blablabla..gimana?” Mila yang tadinya diampun bertanya, belum puas rasanya dengan jawaban Ani.

Ah, remaja putri. Sensitif sekali kalo masalah begini.

“Saya boleh cerita?” Sasa menawarkan dongeng lamanya.

“Boleh mbak. Ayo-ayo cerita!”

“Kurang lebih begini.. Pernah denger kisah cintanya Ali sama Fatimah?” semua menggeleng.

“Oke. Tau kan siapa Ali? Sahabat rasulullah yang udah pasti sholih. Di masa mudanya, ya kayak kita-kita ini, Alipun pernah jatuh cinta. Ya, semua orang pernah jatuh cinta, sekalipun Ali. Kecuali bagi mereka yang tidak.”

“Ia mencintai Fatimah, putri rasulullah yang sama sholihahnya. Tapi Ali gak langsung nembak Fatimah gitu aja. Gak kayak anak-anak jaman sekarang. Ali lebih hebat lagi. Ia sembunyikan perasaannya sampai waktunya tiba. Ia isi masa mudanya dengan hal-hal yang bermanfaat. Ia menjadi bagian dari tegaknya islam di bumi ini. Kalo jaman kita sekarang mungkin aktivis-aktivis muda, ROHIS kayak kalian deh minimal, atau remaja masjid, dan mujahid-mujahid muda lainnya.”

“Sampai kemudian, tibalaah saatnya ia akan menikah. Dengan siapa? Ingin ia melamar Fatimah. Tapi sayang, Fatimah udah keduluan dilamar sama Abu Bakar, yang menurutnya lebih hebat dari dia.”

“Ali sempet putus asa. Tapi dia tetep kalem. Sampe akhirnya dia denger berita kalo..”

“Apaaa?!” Kinan lagi.

“Hish, belom selese!” Ani menatapnya garang.

Sasa menarik napas.

“Kalo ternyata lamaran Abu Bakar ditolak. Tapi nggak berenti sampe situ. Pas Ali mau ngelamar lagi, eh keduluan lagi sama Umar bin Khattab.”

“Lalu?”

“Ali masih kalem. Dan ternyata, lamaran Umar Al Faruq juga ditolak.”

“Al Faruq? Siapa lagi tuh.”

“behh, itu julukannya Umar bin Khatab! Lanjut mbak.”

“nah, akhirnya, Ali memantapkan diri untuk meminang putri Rasulullah itu. Dan akhirnya..”

“Yeeey!!” Erin kegirangan. Padahal belom nyampe ending.

“Beloooooom!” serempak anak-anak putri menegurnya.

“Fatimahpun menerima lamaran Ali. Trus nikah deh.”

“Pas mereka udah nikah, dan ngobrol berdua. Fatimah ngomong ke Ali, kurang lebih, ‘dulu, aku pernah mencintai seseorang’, yang bikin Ali rada panik dengernya. Kemudian Alipun bertanya, ‘siapa orangnya?’ yang kemudian dijawab oleh Fatimah. ‘Orang yang pernah kucintai itu..kamu’.”

Mushola hening sejenak.

“Waaw..”

“Subhanalloh..”

“Aaak, pengeeen..”

“Mbaaak aku pengen!”

Byuh byuh byuh.

“Sederhana. Tapi, itu cinta yang selama ini kita damba.” Sasa menatap jauh tirai mushola di seberang sana. Menyelami dasar hatinya yang paling dalam untuk kembali memantapkan perasaannya. Eaah.

“Perempuan yang baik untuk lelaki yang baik. Perempuan bekas juga buat lelaki bekas. Kalo kata seseorang yang sudah menikah, jodoh kita itu cerminan diri. Kalo kita bisa menjaga diri dengan baik, gak pacaran, gak aneh-aneh, kurang lebih suami kita nanti kayak gitu.”

“Untuk hari ini, mungkin umur kita masih rada jauh. Tapi harusnya sejak hari ini juga, kita belajar untuk bisa dapetin calon imam yang baik.”

"Kalo hati masih rada sepi, inget aja mati. inget saat tiba-tiba leher kita tercekik dan malaikat maut di depan sana, sedangkan di hati kita, cinta buat Alloh ga ada. Padahal kita bakalannya balik ke Dia."

"Ga usah terlalu melow dengerin musik. Itu sumber galau yang ga ada jadi ada. trus kebayang-bayang sama si dia. ga usah keseringan nonton sinetron, apalagi FTV. lama-lama kalian bakalan pengen kayak gitu juga. Ohya, satu lagi. baca qur'an kalian se-artinya. itu isinya surat cinta..dari Alloh buat kita."

**

Seminggu kemudian.

"Mbaak!"

"Mbaak maaf ya kita telat. Ada job dadakan tadi di kelas."

"Iya mbak. tiba-tiba kita jadi biro konsultasi semenjak mentoring kemaren! Aku bilang aja sekarang nggak usah pacaran dulu, pacarannya ntar langsung nikah! Bla..bla..bla."

Semoga mereka bisa istiqomah. aamiin

-Dikutip dari kisah nyata. dengan sedikit perubahan.


Senin, 24 Februari 2014

Maka, Bantu aku


Demi apapun yang ada disini.
Semua terasa biasa meski seseorang disana begitu menderita.
Begitu pula aku.
Tak kunjung bersimpati meski dunia semakin perih menjadi-jadi.
Aku bahkan tak mengerti jika aku harus melakukan sesuatu.
Katakan, apa yang mesti kulakukan?
Berdiri? Berlari? Atau mematung tak berarti.
Aku memang tak punya harapan saat ini.
Karena tiba-tiba, semua terlihat kosong.
Tak ada yang bisa kulakukan selain minta tolong.
Agar mereka membantuku untuk sekedar berdiri.
Menatap jauh hari ini.
Lalu berlari menuju tanah kosong yang harusnya kutuju.
Dan aku, masih berupa kebodohan.

Akan kehadiranmu yang tak pernah stagnan.


Maka bantulah aku.
Untuk bisa berdiri meski hampir tak mampu.
Meski sudah terlambat untuk ku mulai lagi.

Maka bantulah aku.
Yang sendiri tak kunjung memberi arti.

Sabtu, 22 Februari 2014

Dialog Malam: Ujian, Perbedaan dan Calon Imam

Yap, semalam saya diskusi panjang lebar dengan seorang teman akhwat yang cukup rupawan. Karena dia sendirian di kosan, saya yang anak rumahan inipun diminta untuk menemaninya bermalam barang sebentar. Lama nggak ketemu juga, pertemuan kami semalam diawali dengan ngobrol dan diskusi panjang lebar selama hampir 4 jam-alhasil paginya harus molor karena ngantuk betss. Ada banyak ilmu yang saya dapatkan dari obrolan itu.

Hmm. Respect buat temen saya yang satu ini. Dia berani mengambil satu langkah kecil yang cukup berat-menurut banyak orang. Berani ngambil resiko segede apapun demi agamanya, ketika diluar sana orang-orang termasuk saya bahkan enggan untuk mengambilnya. Ghirohnya yang bikin saya kagum, beuh saya mah ngga ada apa-apanya :((

Perlahan diri ini mulai berkaca. Ujian yang selama ini saya dapet, blas ga ada apa-apanya. Mulut yang selama ini mengeluh, jauuh dari mulut-mulut yang basah dengan menyebut-Nya, meski ujian sering datang menyapa.
Dia selalu inget pesen ayahnya, yang kira-kira begini, “apapun yang mereka katakan tentang kamu, udah biarin aja. Toh mereka ngga bisa nyelametin kamu dari api neraka,”

Diskusipun berlanjut.. dan kali ini ngomongin soal perbedaan. Iya, perbedaan yang udah lama saya galauin. Ketergersangan hati akan seorang kawan yang bisa menjelaskan semua perbedaan ini akhirnya terjawab perlahan.

Lalu, tentang, “seperti apa imam yang diinginkan nanti?” memang, melihat umur kami yang sekarang, masih belum cukup ilmu rasanya. Tapi kami memang perlu belajar sejak sekarang, mengingat suatu hari nanti kami akan menjadi madrasah bagi mujahid-mujahidah kecil kami –insyaAlloh- dan ngga ada salahnya untuk belajar mulai dari sekarang. Dan salah satunya, belajar mengenal imam itu sendiri, heuheu.

Aku terlahir dari ‘sini’, maka wajar jika sudut pandang, cara berpikir dan kebiasaanku masih seperti ini. maka ketika aku melihat keluar, dan aku menemukan keterasingan, itu karena aku belum berkenalan dengan seorang teman. Dan sampai hari ini, hari-harikupun masih diwarnai oleh mereka, teman-teman lama, yang dulupun berjasa menjadi perantaraku dengan cahaya-Nya.

Dan di akhir obrolan kami, dia sempat bertanya, “Ukhty, adakah pernah dalam hatimu terbesit untuk bercadar?”


“Ya Alloh, tunjukkanlah kepada kami yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah.”

Senin, 17 Februari 2014

Seplastik Rindu Tersapu Abu


Seplastik rindu yang tersapu abu
Terjamah oleh memoar masa lalu
Kembali menjadi puing-puing ingatan masa kelabu
Rindu itu tak berbentuk
Tak berasa juga tak berwarna
Tapi kehadirannya bagai candu yang memuakkan raga
Mengores luka bagi sesiapa yang menikmatinya

Seplastik rindu yang tersapu abu
Menandakan kini kau tak lagi mendua
Tak lagi bersama dalam sebait nada
Meski hanya terbiasa, tak ada senja pun tak berarti tak jingga

Malam sering mengingatkan rindu
Pun hujan, begitu mendamba rindu
Hawa ingin kembali bertemu
Menuai rasa yang pernah ada
Dan kembali untuk jadi cerita

Ini tentang rindu, tentang rasa bisa jadi juga tentang masa
Dan rinduku kini tersapu abu
Tak lagi berbekas juga berbalas

dalam kepingan rindu, februari menjelang rabu

sudut kota malam rabu

langkah gontai menghampiriku melewati gang kecil yang senyap di malam rabu
ia datang dengan seplastik rindu yang berbalut jagung bakar malam itu
ia menyapa, lalu dengan santainya duduk bersila menghadapku

"kau mau?" tawarnya, meski salah satunya memang untukku.

dan untuk kesekian kalinya ia tersenyum, menandakan kerinduan yang telah tertuai
ingin kubalas senyumnya, meski ragu, dapatkah senyumku meyakinkannya.. bahwa aku tak ingin lagi berada di sampingnya, entah sampai kapan waktunya.
ia menatap jauh rel kereta di sepanjang jalanan kota, tatapannya hampa tak berupa.

"untuk apa kau lakukan semua ini?" tanyaku.
"untukmu, siapa lagi?" ia tak punya jawaban lain.
"tapi aku tak pernah menginginkannya,"
"tapi aku. aku yang menginginkannya, dan orang itu adalah kau,"
"aku sudah berulang kali mengatakannya. aku tak bisa," kupalingkan wajahku saat ia menatapku.
"meski sudah terbiasa? kenapa tiba-tiba kau melepasku? lalu apa arti semua ini?"

jemper hitamnya terlihat samar diantara temaram lampu malam. sudut kota tak lagi ramai. pikiranku berkecamuk tak menentu. antara harus diam, atau memilih untuk meninggalkan.
ia terdiam beberapa saat. menunggu aku kembali. kembali untuk tidak mengambil keputusanku yang baru.
kereta melaju, membisingkan jejak-jejak semu yang terukir membisu di sudut kota malam itu. aku masih terdiam dalam sesenggukan. sedangkan ia beradu bersama kebisingan, berteriak melepaskan semua beban bersama kereta yang mulai berhenti perlahan. namun malam itu, tak ada jawaban. yang ada hanya diam.

hingga dua tahun kemudian, ia datang. tak lagi seperti dulu. meski sempat beradu, saling bertukar argumen tak menentu. mungkin lelah. atau temukan yang baru.


Selasa, 04 Februari 2014

ini prinsip, bung!

#1
            Mas’ itu’ sombong banget ya, masa diajakin salaman sama cewe ga mau,” ujar seorang teman yang sedang memperagakan teman kampusnya.
            Malam itu, aku dan beberapa teman sedang makan di sebuah rumah makan padang. Aktivitas makan kami sempat berhenti saat kami mencoba mendengarkan cerita itu.
            “Trus aku bilang.. Ga juga, kan dari dulu dia emang gitu,” ujarnya lagi dengan suara berbeda, mengisyaratkan bahwa itu adalah suaranya.
            “Trus dianya jawab.. Tapi dulu dia gak gitu kok, dia dulu mau salaman sama cewek!” ia bercerita dengan mengaduk pelan nasi padang di hadapannnya.
            “Kadang emang susah sama orang kaya gitu. Padahal, masing-masing orang punya prinsip. Dan setiap orang juga perlu menghargai prinsip orang lain,”
**
#2
            “Please Nia, untuk kali ini aja kamu solid ke kita, ya?” ujar teman sekelas yang duduk tak jauh disaat ujian semester mata kuliah bahasa Inggris akan dimulai.
            “Iya, kalo kedengeran ya,”
            “Ga usah pura-pura ga denger, aku tau.” ujarnya pelan, tapi dalem. Hm..
**
#3
            “Kamu mau aku boncengin ga?” kira-kira demikian sms dari seorang teman. Seorang ikhwan. Saat itu aku dan teman-teman berencana pergi, dan aku sendiri sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk motoran sendiri. Agak-agak merinding membacanya. Merinding dalam arti, ‘ini orang kok berani’.. dan bingung, gimana jawabnya biar ga tersinggung. Karena saat itu keadaannya juga sedang ‘terhimpit’
            “Wah, ini aku udah terlanjur ngeluarin motor. Maneman kalo dimasukin lagi, soalnya rumah lagi berantakan,” jawabku seadanya. Tapi emang ada benernya juga.
**
            Iya, ini prinsip. Setiap orang pasti punya prinsip, kan? Kamu dengan ‘BeYourSelf’-mu, dia dengan ‘InginBebas’-nya, atau mereka dengan kesetiaannya, dan sebagainya. Dan mungkin, setiap orang tak ingin prinsipnya diganggu, dikomentari. Pun begitu.
Maka kalo seseorang ga mau saling contekan karena ga mau membodohi teman, itu prinsip. Kalo ada orang yang ga pengen pacaran karena cuma pengen ngedapetin cinta yang halal, itu juga prinsip. Dan kalo cewek nolak berduaan ato boncengan sama cowok yang bukan mahromnya meski udah sahabatan lama serta udah sangat biasa, itu juga prinsip.
            Well, terlepas dari itu semua, ada banyak hal yang mungkin terbesit dalam hati. Manusia mana yang ga lepas dari dosa, salah, lupa? Dan ga menutup kemungkinan saya sendiri juga termasuk di dalamnya. Karena pasti ada sebagian orang pernah bilang, “kamu dulu juga gitu kan”
Tapi usaha untuk memperbaiki diri, salahkah? Mengambil quote dari seorang teman, ‘seburuk apapun kita di masa lalu bukan berarti kita tak berhak menjadi muslimah yang lebih baik seperti sekarang ini..’

untukmu yang kini sendu

tak salah memang, jika rasa itu sempat ada
berkembang sejalan dengan pertemanan kita
dan mekar, justru disaat yang tak terduga

namun, tak salah juga jika ia tak ikut menyimpan rasa
tak ikut berbunga saat bersama
dan tak menaruh harap dalam setiap perjalanan

seandainya boleh ku bicara
ingin kukatakan padamu jika tak ada rasa dalam kalbuku
tak kusimpan harapan itu seperti kau memupuknya untuk bersama

tolong
tak perlu ada paksa jika memang tak ada rasa
dan tak perlu sakit hati jika memang tak dicintai
Tuhan telah sempurna membuat skenarionya

tak perlu ada sakit hati
karena masing-masing diri sudah saling mengerti jika cinta memang tak harus memiliki

dan untukmu yang sedang sendu
belajarlah untuk tidak memaksa, karena cinta tak bisa hadir dengannya