Pages

Senin, 17 Februari 2014

sudut kota malam rabu

langkah gontai menghampiriku melewati gang kecil yang senyap di malam rabu
ia datang dengan seplastik rindu yang berbalut jagung bakar malam itu
ia menyapa, lalu dengan santainya duduk bersila menghadapku

"kau mau?" tawarnya, meski salah satunya memang untukku.

dan untuk kesekian kalinya ia tersenyum, menandakan kerinduan yang telah tertuai
ingin kubalas senyumnya, meski ragu, dapatkah senyumku meyakinkannya.. bahwa aku tak ingin lagi berada di sampingnya, entah sampai kapan waktunya.
ia menatap jauh rel kereta di sepanjang jalanan kota, tatapannya hampa tak berupa.

"untuk apa kau lakukan semua ini?" tanyaku.
"untukmu, siapa lagi?" ia tak punya jawaban lain.
"tapi aku tak pernah menginginkannya,"
"tapi aku. aku yang menginginkannya, dan orang itu adalah kau,"
"aku sudah berulang kali mengatakannya. aku tak bisa," kupalingkan wajahku saat ia menatapku.
"meski sudah terbiasa? kenapa tiba-tiba kau melepasku? lalu apa arti semua ini?"

jemper hitamnya terlihat samar diantara temaram lampu malam. sudut kota tak lagi ramai. pikiranku berkecamuk tak menentu. antara harus diam, atau memilih untuk meninggalkan.
ia terdiam beberapa saat. menunggu aku kembali. kembali untuk tidak mengambil keputusanku yang baru.
kereta melaju, membisingkan jejak-jejak semu yang terukir membisu di sudut kota malam itu. aku masih terdiam dalam sesenggukan. sedangkan ia beradu bersama kebisingan, berteriak melepaskan semua beban bersama kereta yang mulai berhenti perlahan. namun malam itu, tak ada jawaban. yang ada hanya diam.

hingga dua tahun kemudian, ia datang. tak lagi seperti dulu. meski sempat beradu, saling bertukar argumen tak menentu. mungkin lelah. atau temukan yang baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar