Pages

Minggu, 20 April 2014

adakah selain rumah?

Adakah tempat selain rumah?
Jika aku bisa pergi kapanpun ku mau, aku akan pergi
Menyaksikan dunia yang begitu luas
Bertemu dengan berbagai macam manusia
Menyapa mereka, lalu singgah sementara dan lanjut berkelana
Seolah, beban dalam otakmu bisa kau tenggelamkan sejenak dalam lautan imajimu

Omong kosong apa yang kukatakan ini
Aku tak membenci rumah
Tapi aku merasa lebih baik jika aku tak berada di rumah
Bukan salah rumah jika aku tak ingin tinggal
Tapi salahku yang terlanjur tak nyaman
Berada dalam situasi yang membuatku cukup frustasi

Bukan salah rumah
Tapi aku yang selalu ingin keluar
Menyaksikan banyak warna kehidupan
Berharap aku bisa membuat ceritaku sendiri seperti yang selama ini kutulis

Bukan salah rumah jika aku tak peduli
Tapi karena egoku yang semakin menjadi
Bukan salah rumah
Bukan
Tapi aku benci jika terus berada dalam kungkungan pikiranku yang selalu terganggu disana
Adakah tempat selain rumah?

Saat tiba-tiba dunia begitu kejam

Hari ini, tiba-tiba semua orang menjadi jahat di mataku
Semanis apapun kata-kata yang mereka lontarkan, percayalah. Itu racun
Racun yang menggerogoti seluruh pikiranmu
Memaksamu keluar dari duniamu yang tenang dan nyaman
Meski kenyamanan dan ketenangan itu memang pernah kau pertanyakan

Dunia ini kejam, tiba-tiba itu yang kau pikirkan
Dunia ini merenggut kebahagiaan dengan perlahan
Kau jatuh, tapi mereka tak peduli
Kau merasakan sayang, tetapi mereka menyalahartikan. Lalu mengusirmu kejam
Kau bertanya, salah apa dalam dirimu
Hingga mereka mengutukmu satu persatu
Mereka yang selama ini kau lihat sebagai malaikat
Mereka yang selama ini kau anggap bidadari penolong setiap saat
Tapi nyatanya, dibalik itu semua, mereka berencana
Untuk menghancurkan kebahagiaanmu, satu-persatu
Perlahan, kebahagiaan itu menghilang dari pelupuk matamu
Mengecil, lalu lenyap. Dan kau tersenyum sambil berharap
Jika kelak, kau akan mendapatkan yang lebih baik

Ya, berharaplah. Meski air mata harus kau tahan untuk sebuah senyuman yang kau hadirkan demi membungkus penderitaanmu yang terlanjur dalam.

Senin, 14 April 2014

it's about major (2)



Menjadi guru? Pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menjadi seorang guru. Tapi.. ya, lagi-lagi tapi. Menjadi seorang guru dirasa bukan bakat saya (saat itu). Rasanya monoton, hanya berada di dalam kelas dan harus menghafal banyak pelajaran untuk diajarkan. Itu pikir saya ketika masih SD. 

Di suatu hari, saat upacara sekolah, saya sempat merenung memikirkan sesuatu ketika tiba saatnya salah seorang guru berpidato. Jika suatu hari nanti saya jadi guru, berarti saya harus berpidato seperti beliau, menghadap banyak orang dan berbicara dengan lancar tanpa teks. Bagaimana mungkin saya bisa melakukannya? Sedangkan saya termasuk anak yang pendiam dan (merasa) kurang wawasan. Pikiran itu bahkan mendoktrin bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi guru dirasa pekerjaan yang cukup tabu.

Nah, opsi selanjutnya adalah menjadi seorang psikolog. Well, sejak kecil saya memiliki banyak keponakan di sekitar rumah. Karakter-karakter mereka yang berbeda-beda dan cenderung nakal membuat saya sempat berpikir keras bagaimana bisa memahami dan mendidik mereka dengan baik. Posisi saya saat itu adalah kakak tertua, maka disitu saya berusaha untuk menjadi kakak dengan memberikan contoh yang baik untuk adik-adik saya. Saya berpikir, bagaimana jika saya menjadi seorang psikolog saja? Yang setiap harinya menampung masalah banyak orang dan mencoba menyelesaikannya dengan bijak. Karena di masa-masa itu pula (SMP), saya sering mendapat curhatan dari banyak teman, lalu mencoba memotivasi mereka agar menjadi lebih baik. Namun lemahnya, saya justru tidak bisa memotivasi diri sendiri.

Perlahan saya mulai belajar mengamati orang-orang dengan karakter, masalah, dan kebutuhan yang pasti berbeda satu sama lain. Tiba-tiba ini menjadi hal yang cukup menarik karena daya ingat saya akan karakter dan tingkah laku orang lain cukup baik merekamnya. Dan opsi selanjutnya adalah menjadi seorang psikolog.

Menginjak SMA, disitulah saya mulai ‘sadar’ dan pintu hati mulai terbuka untuk menerima ilmu agama. Saya mengikuti berbagai organisasi keislaman, komunitas di luar sekolah, dan segala macam kegiatan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya merasa memasuki dunia baru, wawasan baru, dimana dari situ saya belajar mengenal dunia yang suatu hari nanti akan saya tempati. Saya mulai belajar bagaimana berbicara di depan banyak orang, bagaimana bekerja sama dengan orang lain, dan berinteraksi dengan banyak orang di dunia luar sekolah.

Potensi saya perlahan tersalurkan. Di organisasi, saya kerap diamanahi untuk menjadi koordinator. Disitulah ide saya bermain. Meski yang saya inginkan dulu adalah merancang bangunan, kali ini saya belajar merancang acara, mengkondisikan banyak orang dengan keinginan dan karakter yang berbeda-beda, serta menempatkan waktu agar sesuai dengan kesepakatan bersama. Lalu membuat desain poster dan sebagainya. Namu disini, saya belum menentukan opsi selanjutnya yang akan saya pilih.
 
Lagi-lagi, karena seringnya membaca banyak buku (meski tidak sampai selesai) saya bertekad untuk bisa keliling dunia. Sejak kecil, orang tua kerap mengajak keliling kota. Dalam seminggu, jika tak keluar rumah rasanya seperti kurang afdhol bagi keluarga kami. Saya ingin menjelajah bagian dunia yang belum saya tempati. Ibu pernah bercerita tentang sepupu saya yang kini bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Awalnya, ia memilih jurusan HI (hubungan internasional), tapi ditolak dan akhirnya memilih akuntansi. Ibu menyarankan untuk mengambil HI, yang menurut beliau pekerjaannya nanti adalah menjadi duta luar negri, atau segala pekerjaan yang hubungannya pergi ke luar negeri. Ditambah, saya cukup fasih berbahasa asing.

Ketika SMA, saya sama sekali tidak tertarik pada ekonomi, akuntansi, dan segala ilmu yang berhubungan dengan bisnis. Saya merasa tak menemukan bakat saya disana. Jika ekonomi nantinya akan jadi pengusaha, mengapa tak memulainya segera saja? Tanpa harus melalui berbagai teori yang sepertinya justru lebih menyulitkan ketimbang segera direalisasikan.

Memasuki masa-masa kelas tiga SMA, saya kembali menimang-nimang beberapa opsi yang sudah saya tentukan. Maka opsi-opsi itu adalah menjadi penulis, penyiar radio, desainer, psikolog, traveler, dan trainer. Ya, freelancer. Meski saya sendiri ragu dengan opsi sebanyak itu. Saya cenderung menyukai pekerjaan freelancer, karena saya sadar jika saya bukan termasuk orang yang mampu bekerja di bawah tekanan dan rutinitas.

Oke bersambung lagi.

Rabu, 02 April 2014

It's About Major

بسم الله الرحمن الرحيم



Seperti biasa, setelah membaca sebuah buku atau artikel, imajinasi saya kembali berkelana. Pengetahuan dalam pikiran terasa melayang, hendak menguap dan mengabadikannya dalam tulisan.

Membaca sebuah artikel yang tidak sengaja saya temukan di blog seorang teman tentang memilih jurusan membuat saya kembali ingin menggali potensi. penulis artikel itu mengemukakan banyak hal mengenai pemilihan jurusan dan ke depannya. Karena jurusan itu akan menentukan siapa kita kelak. dan sederhananya,

Ingin jadi apa suatu hari nanti?

Entah apa sebenarnya cita-cita saya. Sejak kecil, cita-cita pertama yang saya ingat adalah menjadi seorang arsitek. Jika ditanya, mengapa ingin jadi arsitek? Dengan polosnya saya menjawab, ‘ingin seperti bapak’. Padahal bapak saya bukan arsitek. Tapi bapak saya memang sering menggambar denah rumah, desain depan belakang, dan itu membuat saya ingin sekali menjadi seperti beliau, karena bakat saya sejak kecil adalah menggambar.

Sederhananya, bapak saya memang bukan arsitek. Namun beliau pernah mengenyam pendidikan arsitek selama hampir dua tahun di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Solo. Karena alasan ekonomi dan beliau satu-satunya anak laki-laki tertua, beliau memutuskan untuk berhenti kuliah. Sejak mendengar cerita itu, saya berusaha ingin melanjutkan cita-cita bapak, menjadi seorang arsitek. Merancang bangunan-bangunan pencakar langit, membuat desain rumah dan mengatur semuanya dengan otak dan tangan sendiri.

Semakin dewasa, saya melihat ada potensi yang lain. Masa-masa hampir lulus SD, saya suka mendengarkan radio. Mengamati bagaimana orang-orang dewasa berbicara di balik kotak bernama televisi dan radio. Melihat dengan jeli mengapa gaya bicara mereka berbeda dengan gaya bicara orang-orang dalam kesehariannya. Mencoba menirukan mereka dan berimajinasi jika suatu hari saya menjadi pembawa acara. Atau, cukup ‘bersembunyi’ dengan menjadi penyiar radio yang bisa menyetel musiknya sesuka hati. Maka sejak saat itu saya membuka opsi kedua dalam menulis kolom ‘cita-cita’ pada biodata saya nanti, untuk menjadi seorang penyiar radio.

Namun ternyata saya masih menemukan potensi yang lain. Begini. Saya, jika dibandingkan dengan teman sekelas (saat masih SD) yang juara kelas, saya merasa tidak ada apa-apanya. Mereka begitu semangat belajar, punya banyak buku bacaan dan selalu dibaca setiap harinya. Mereka tahu berbagai pengetahuan di luar pelajaran. Setiap minggu, keluarga seorang teman pergi ke toko buku dan membebaskan anak-anaknya tuk memilih buku apa saja yang ingin mereka miliki. Buku-buku dengan cover cantik dan menarik, yang membuat saya sempat iri karena orang tua jarang membelikan buku. Jika ketahuan membeli, ibu akan menegur dan menyarankan agar uang yang saya miliki lebih baik disimpan daripada membeli buku. Entah, mungkin orang tua tahu bahwa saya malas membaca buku. Ya, anehnya memang begitu. Saya bukan termasuk kutu buku, tapi saya begitu ingin membaca banyak buku tanpa membacanya sampai selesai. Oke, hanya keinginan tanpa amal nyata.

Saya juga sangat suka menulis. Apapun. Terutama buku harian, dari puisi cinta monyet, hikmah sehari-hari bahkan cerita pendek konyol sering saya tulis dalam buku harian itu. Entah berapa banyak buku harian yang saya habiskan semasa SD. Mendapat kadopun sering berupa buku harian. Disitu imajinasi saya bermain dalam keterbatasan. Terbatas, karena saya jarang membaca buku di luar pelajaran sekolah, dan jarang bepergian jauh keliling Indonesia (kecuali Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat) untuk bertamasya saat liburan seperti teman-teman yang lain. Bahkan ada dari teman saya yang pernah ke luar negeri. Sedangkan keperluan saya di Jakarta hanya karena pergi ke rumah saudara yang sudah sering kami lakukan setiap tahunnya. Dan sejak saat itu, saya membuka opsi ketiga untuk menjadi seorang penulis.

Makin beranjak dewasa, keinginan untuk menjadi arsitek itu masih ada. Suatu ketika saya berada di rumah sepupu yang sudah dewasa dan memiliki seorang anak. Saat itu saya masih SMP, dan kakak sepupu saya mengajak ngobrol banyak hal. Ia bertanya apa cita-cita saya, pekerjaan apa yang saya inginkan jika sudah dewasa nanti. Saya jawab, arsitek. Beliau bilang, arsitek tak memiliki peluang kerja yang banyak di Kota Solo. Karena kota ini begitu kecil. Apalagi saya seorang perempuan. Bagaimana jadinya jika harus terjun ke lapangan, yang kadang bertentangan dengan fitroh perempuan.

Mendadak saya bimbang. Benar apa yang beliau katakan. Lalu beliau malah menawarkan pekerjaan lain dengan prospek kerja yang cukup bagus dan berpeluang besar. Oke, saya lupa apa yang ditawarkannya. Tapi obrolan itu cukup membuat harapan saya sempat sirna untuk menjadi seorang arsitek.

Bersambung..

sepeda biru



“Aku tak ingin pulang,” ujarmu suatu waktu. Sepeda birumu kau pegang erat kala itu.

“Di rumah ada banyak hal yang bisa kau lakukan,” aku membujuk.

“Di luar lebih menyenangkan,” kau beralasan.

“Tapi rumah jauh lebih menenangkan. Kau lebih aman,”

“Kenapa kau begitu membela rumah? Aku tadinya ingin mengajakmu pergi juga,” kau kecewa.

Aku mendesah pelan. Tak mengerti apa lagi yang mesti kukatakan.

“Seseorang merindukanmu,” ujarku pelan.

“Tak ada yang merindukanku. Termasuk engkau,”

“Dari mana kau tahu?”

“Kau tak pernah menganggap hadirku,”

“Bukankah justru engkau yang demikian?”

“Tidak. Engkaulah yang demikian,” kau tak mau mengalah, dan tak ingin di kalahkan. Maka aku diam.

“Aku tak ingin pulang,” dan kau mulai bersiap dengan sepedamu.

“Seseorang merindukanmu,” ujarku lagi.

“Tak ada,” kau hendak mengayuh sepedamu.

“Ada!” aku berusaha mencegahmu.

“Siapa?” kau berbalik. Menatapku penuh amarah. Membuatku ragu jika kau tak kan percaya dengan kata-kataku.

“Katakan! Siapa yang merindukan pecundang macam aku?” tanyamu. Lidahku kelu.

“Mereka semua tak menginginkanku. Termasuk orang-orang yang sejak kecil menghidupi semua orang di rumah. Mereka lebih menyukaimu. Aku hanya pemberontak yang tak pernah memberi manfaat. Semua orang akhirnya membenciku. Dan kau tak perlu membodohiku dengan mengatakan ada yang merindukanku. Semua orang dusta. Aku tak bisa percaya.”

Kau melengos pergi. Padahal aku hendak mengatakannya.

“Jika aku yang merindukanmu, apakah kau percaya?”

Aku mengatakannya lirih. Hampir tak terdengar. Kau sudah berjalan jauh. Tapi seketika itu kau menoleh ke arahku. Ya, kau menoleh. Hanya sekejap, lalu kembali pergi dengan sepeda birumu.

Padahal, aku benar-benar merindukanmu.