Pages

Rabu, 02 April 2014

It's About Major

بسم الله الرحمن الرحيم



Seperti biasa, setelah membaca sebuah buku atau artikel, imajinasi saya kembali berkelana. Pengetahuan dalam pikiran terasa melayang, hendak menguap dan mengabadikannya dalam tulisan.

Membaca sebuah artikel yang tidak sengaja saya temukan di blog seorang teman tentang memilih jurusan membuat saya kembali ingin menggali potensi. penulis artikel itu mengemukakan banyak hal mengenai pemilihan jurusan dan ke depannya. Karena jurusan itu akan menentukan siapa kita kelak. dan sederhananya,

Ingin jadi apa suatu hari nanti?

Entah apa sebenarnya cita-cita saya. Sejak kecil, cita-cita pertama yang saya ingat adalah menjadi seorang arsitek. Jika ditanya, mengapa ingin jadi arsitek? Dengan polosnya saya menjawab, ‘ingin seperti bapak’. Padahal bapak saya bukan arsitek. Tapi bapak saya memang sering menggambar denah rumah, desain depan belakang, dan itu membuat saya ingin sekali menjadi seperti beliau, karena bakat saya sejak kecil adalah menggambar.

Sederhananya, bapak saya memang bukan arsitek. Namun beliau pernah mengenyam pendidikan arsitek selama hampir dua tahun di sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Solo. Karena alasan ekonomi dan beliau satu-satunya anak laki-laki tertua, beliau memutuskan untuk berhenti kuliah. Sejak mendengar cerita itu, saya berusaha ingin melanjutkan cita-cita bapak, menjadi seorang arsitek. Merancang bangunan-bangunan pencakar langit, membuat desain rumah dan mengatur semuanya dengan otak dan tangan sendiri.

Semakin dewasa, saya melihat ada potensi yang lain. Masa-masa hampir lulus SD, saya suka mendengarkan radio. Mengamati bagaimana orang-orang dewasa berbicara di balik kotak bernama televisi dan radio. Melihat dengan jeli mengapa gaya bicara mereka berbeda dengan gaya bicara orang-orang dalam kesehariannya. Mencoba menirukan mereka dan berimajinasi jika suatu hari saya menjadi pembawa acara. Atau, cukup ‘bersembunyi’ dengan menjadi penyiar radio yang bisa menyetel musiknya sesuka hati. Maka sejak saat itu saya membuka opsi kedua dalam menulis kolom ‘cita-cita’ pada biodata saya nanti, untuk menjadi seorang penyiar radio.

Namun ternyata saya masih menemukan potensi yang lain. Begini. Saya, jika dibandingkan dengan teman sekelas (saat masih SD) yang juara kelas, saya merasa tidak ada apa-apanya. Mereka begitu semangat belajar, punya banyak buku bacaan dan selalu dibaca setiap harinya. Mereka tahu berbagai pengetahuan di luar pelajaran. Setiap minggu, keluarga seorang teman pergi ke toko buku dan membebaskan anak-anaknya tuk memilih buku apa saja yang ingin mereka miliki. Buku-buku dengan cover cantik dan menarik, yang membuat saya sempat iri karena orang tua jarang membelikan buku. Jika ketahuan membeli, ibu akan menegur dan menyarankan agar uang yang saya miliki lebih baik disimpan daripada membeli buku. Entah, mungkin orang tua tahu bahwa saya malas membaca buku. Ya, anehnya memang begitu. Saya bukan termasuk kutu buku, tapi saya begitu ingin membaca banyak buku tanpa membacanya sampai selesai. Oke, hanya keinginan tanpa amal nyata.

Saya juga sangat suka menulis. Apapun. Terutama buku harian, dari puisi cinta monyet, hikmah sehari-hari bahkan cerita pendek konyol sering saya tulis dalam buku harian itu. Entah berapa banyak buku harian yang saya habiskan semasa SD. Mendapat kadopun sering berupa buku harian. Disitu imajinasi saya bermain dalam keterbatasan. Terbatas, karena saya jarang membaca buku di luar pelajaran sekolah, dan jarang bepergian jauh keliling Indonesia (kecuali Jakarta dan beberapa kota di Jawa Barat) untuk bertamasya saat liburan seperti teman-teman yang lain. Bahkan ada dari teman saya yang pernah ke luar negeri. Sedangkan keperluan saya di Jakarta hanya karena pergi ke rumah saudara yang sudah sering kami lakukan setiap tahunnya. Dan sejak saat itu, saya membuka opsi ketiga untuk menjadi seorang penulis.

Makin beranjak dewasa, keinginan untuk menjadi arsitek itu masih ada. Suatu ketika saya berada di rumah sepupu yang sudah dewasa dan memiliki seorang anak. Saat itu saya masih SMP, dan kakak sepupu saya mengajak ngobrol banyak hal. Ia bertanya apa cita-cita saya, pekerjaan apa yang saya inginkan jika sudah dewasa nanti. Saya jawab, arsitek. Beliau bilang, arsitek tak memiliki peluang kerja yang banyak di Kota Solo. Karena kota ini begitu kecil. Apalagi saya seorang perempuan. Bagaimana jadinya jika harus terjun ke lapangan, yang kadang bertentangan dengan fitroh perempuan.

Mendadak saya bimbang. Benar apa yang beliau katakan. Lalu beliau malah menawarkan pekerjaan lain dengan prospek kerja yang cukup bagus dan berpeluang besar. Oke, saya lupa apa yang ditawarkannya. Tapi obrolan itu cukup membuat harapan saya sempat sirna untuk menjadi seorang arsitek.

Bersambung..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar