Seperti biasa, setelah membaca sebuah buku atau artikel,
imajinasi saya kembali berkelana. Pengetahuan dalam pikiran terasa melayang,
hendak menguap dan mengabadikannya dalam tulisan.
Membaca sebuah artikel yang tidak sengaja saya temukan di
blog seorang teman tentang memilih jurusan membuat saya kembali ingin menggali potensi. penulis artikel itu mengemukakan banyak hal mengenai pemilihan jurusan dan ke
depannya. Karena jurusan itu akan menentukan siapa kita kelak. dan sederhananya,
Ingin jadi apa suatu hari nanti?
Entah apa sebenarnya cita-cita saya. Sejak kecil, cita-cita
pertama yang saya ingat adalah menjadi seorang arsitek. Jika ditanya, mengapa
ingin jadi arsitek? Dengan polosnya saya menjawab, ‘ingin seperti bapak’.
Padahal bapak saya bukan arsitek. Tapi bapak saya memang sering menggambar
denah rumah, desain depan belakang, dan itu membuat saya ingin sekali menjadi
seperti beliau, karena bakat saya sejak kecil adalah menggambar.
Sederhananya, bapak saya memang bukan arsitek. Namun beliau
pernah mengenyam pendidikan arsitek selama hampir dua tahun di sebuah perguruan
tinggi negeri di Kota Solo. Karena alasan ekonomi dan beliau satu-satunya anak
laki-laki tertua, beliau memutuskan untuk berhenti kuliah. Sejak mendengar
cerita itu, saya berusaha ingin melanjutkan cita-cita bapak, menjadi seorang
arsitek. Merancang bangunan-bangunan pencakar langit, membuat desain rumah dan
mengatur semuanya dengan otak dan tangan sendiri.
Semakin dewasa, saya melihat ada potensi yang lain.
Masa-masa hampir lulus SD, saya suka mendengarkan radio. Mengamati bagaimana
orang-orang dewasa berbicara di balik kotak bernama televisi dan radio. Melihat
dengan jeli mengapa gaya bicara mereka berbeda dengan gaya bicara orang-orang dalam
kesehariannya. Mencoba menirukan mereka dan berimajinasi jika suatu hari saya
menjadi pembawa acara. Atau, cukup ‘bersembunyi’ dengan menjadi penyiar radio
yang bisa menyetel musiknya sesuka hati. Maka sejak saat itu saya membuka opsi
kedua dalam menulis kolom ‘cita-cita’ pada biodata saya nanti, untuk menjadi
seorang penyiar radio.
Namun ternyata saya masih menemukan potensi yang lain. Begini. Saya, jika dibandingkan dengan teman sekelas (saat masih SD) yang
juara kelas, saya merasa tidak ada apa-apanya. Mereka begitu semangat belajar,
punya banyak buku bacaan dan selalu dibaca setiap harinya. Mereka tahu berbagai
pengetahuan di luar pelajaran. Setiap minggu, keluarga seorang teman pergi ke
toko buku dan membebaskan anak-anaknya tuk memilih buku apa saja yang ingin
mereka miliki. Buku-buku dengan cover cantik dan menarik, yang membuat saya
sempat iri karena orang tua jarang membelikan buku. Jika ketahuan membeli, ibu
akan menegur dan menyarankan agar uang yang saya miliki lebih baik disimpan
daripada membeli buku. Entah, mungkin orang tua tahu bahwa saya malas membaca
buku. Ya, anehnya memang begitu. Saya bukan termasuk kutu buku, tapi saya
begitu ingin membaca banyak buku tanpa membacanya sampai selesai. Oke, hanya
keinginan tanpa amal nyata.
Saya juga sangat suka menulis. Apapun. Terutama buku harian, dari puisi cinta monyet, hikmah sehari-hari bahkan
cerita pendek konyol sering saya tulis dalam buku harian itu. Entah berapa banyak
buku harian yang saya habiskan semasa SD. Mendapat kadopun sering berupa buku harian. Disitu
imajinasi saya bermain dalam keterbatasan. Terbatas, karena saya jarang membaca
buku di luar pelajaran sekolah, dan jarang bepergian jauh keliling Indonesia (kecuali Jakarta dan beberapa
kota di Jawa Barat) untuk bertamasya saat liburan seperti teman-teman yang
lain. Bahkan ada dari teman saya yang pernah ke luar negeri. Sedangkan keperluan
saya di Jakarta hanya karena pergi ke rumah saudara yang sudah sering kami
lakukan setiap tahunnya. Dan sejak saat itu, saya membuka opsi ketiga untuk
menjadi seorang penulis.
Makin beranjak dewasa, keinginan untuk menjadi arsitek itu
masih ada. Suatu ketika saya berada di rumah sepupu yang sudah dewasa dan
memiliki seorang anak. Saat itu saya masih SMP, dan kakak sepupu saya mengajak
ngobrol banyak hal. Ia bertanya apa cita-cita
saya, pekerjaan apa yang saya inginkan jika sudah dewasa nanti. Saya jawab,
arsitek. Beliau bilang, arsitek tak memiliki peluang kerja yang banyak di Kota
Solo. Karena kota ini begitu kecil. Apalagi saya seorang perempuan. Bagaimana jadinya jika harus terjun ke lapangan, yang kadang bertentangan dengan fitroh perempuan.
Mendadak saya
bimbang. Benar apa yang beliau katakan. Lalu beliau malah menawarkan pekerjaan
lain dengan prospek kerja yang cukup bagus dan berpeluang besar. Oke, saya lupa
apa yang ditawarkannya. Tapi obrolan itu cukup membuat harapan saya sempat sirna untuk
menjadi seorang arsitek.
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar