Pages

Senin, 14 April 2014

it's about major (2)



Menjadi guru? Pernah terlintas dalam pikiran saya untuk menjadi seorang guru. Tapi.. ya, lagi-lagi tapi. Menjadi seorang guru dirasa bukan bakat saya (saat itu). Rasanya monoton, hanya berada di dalam kelas dan harus menghafal banyak pelajaran untuk diajarkan. Itu pikir saya ketika masih SD. 

Di suatu hari, saat upacara sekolah, saya sempat merenung memikirkan sesuatu ketika tiba saatnya salah seorang guru berpidato. Jika suatu hari nanti saya jadi guru, berarti saya harus berpidato seperti beliau, menghadap banyak orang dan berbicara dengan lancar tanpa teks. Bagaimana mungkin saya bisa melakukannya? Sedangkan saya termasuk anak yang pendiam dan (merasa) kurang wawasan. Pikiran itu bahkan mendoktrin bertahun-tahun lamanya, sehingga menjadi guru dirasa pekerjaan yang cukup tabu.

Nah, opsi selanjutnya adalah menjadi seorang psikolog. Well, sejak kecil saya memiliki banyak keponakan di sekitar rumah. Karakter-karakter mereka yang berbeda-beda dan cenderung nakal membuat saya sempat berpikir keras bagaimana bisa memahami dan mendidik mereka dengan baik. Posisi saya saat itu adalah kakak tertua, maka disitu saya berusaha untuk menjadi kakak dengan memberikan contoh yang baik untuk adik-adik saya. Saya berpikir, bagaimana jika saya menjadi seorang psikolog saja? Yang setiap harinya menampung masalah banyak orang dan mencoba menyelesaikannya dengan bijak. Karena di masa-masa itu pula (SMP), saya sering mendapat curhatan dari banyak teman, lalu mencoba memotivasi mereka agar menjadi lebih baik. Namun lemahnya, saya justru tidak bisa memotivasi diri sendiri.

Perlahan saya mulai belajar mengamati orang-orang dengan karakter, masalah, dan kebutuhan yang pasti berbeda satu sama lain. Tiba-tiba ini menjadi hal yang cukup menarik karena daya ingat saya akan karakter dan tingkah laku orang lain cukup baik merekamnya. Dan opsi selanjutnya adalah menjadi seorang psikolog.

Menginjak SMA, disitulah saya mulai ‘sadar’ dan pintu hati mulai terbuka untuk menerima ilmu agama. Saya mengikuti berbagai organisasi keislaman, komunitas di luar sekolah, dan segala macam kegiatan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Saya merasa memasuki dunia baru, wawasan baru, dimana dari situ saya belajar mengenal dunia yang suatu hari nanti akan saya tempati. Saya mulai belajar bagaimana berbicara di depan banyak orang, bagaimana bekerja sama dengan orang lain, dan berinteraksi dengan banyak orang di dunia luar sekolah.

Potensi saya perlahan tersalurkan. Di organisasi, saya kerap diamanahi untuk menjadi koordinator. Disitulah ide saya bermain. Meski yang saya inginkan dulu adalah merancang bangunan, kali ini saya belajar merancang acara, mengkondisikan banyak orang dengan keinginan dan karakter yang berbeda-beda, serta menempatkan waktu agar sesuai dengan kesepakatan bersama. Lalu membuat desain poster dan sebagainya. Namu disini, saya belum menentukan opsi selanjutnya yang akan saya pilih.
 
Lagi-lagi, karena seringnya membaca banyak buku (meski tidak sampai selesai) saya bertekad untuk bisa keliling dunia. Sejak kecil, orang tua kerap mengajak keliling kota. Dalam seminggu, jika tak keluar rumah rasanya seperti kurang afdhol bagi keluarga kami. Saya ingin menjelajah bagian dunia yang belum saya tempati. Ibu pernah bercerita tentang sepupu saya yang kini bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Awalnya, ia memilih jurusan HI (hubungan internasional), tapi ditolak dan akhirnya memilih akuntansi. Ibu menyarankan untuk mengambil HI, yang menurut beliau pekerjaannya nanti adalah menjadi duta luar negri, atau segala pekerjaan yang hubungannya pergi ke luar negeri. Ditambah, saya cukup fasih berbahasa asing.

Ketika SMA, saya sama sekali tidak tertarik pada ekonomi, akuntansi, dan segala ilmu yang berhubungan dengan bisnis. Saya merasa tak menemukan bakat saya disana. Jika ekonomi nantinya akan jadi pengusaha, mengapa tak memulainya segera saja? Tanpa harus melalui berbagai teori yang sepertinya justru lebih menyulitkan ketimbang segera direalisasikan.

Memasuki masa-masa kelas tiga SMA, saya kembali menimang-nimang beberapa opsi yang sudah saya tentukan. Maka opsi-opsi itu adalah menjadi penulis, penyiar radio, desainer, psikolog, traveler, dan trainer. Ya, freelancer. Meski saya sendiri ragu dengan opsi sebanyak itu. Saya cenderung menyukai pekerjaan freelancer, karena saya sadar jika saya bukan termasuk orang yang mampu bekerja di bawah tekanan dan rutinitas.

Oke bersambung lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar