“Aku tak ingin pulang,” ujarmu suatu waktu. Sepeda birumu
kau pegang erat kala itu.
“Di rumah ada banyak hal yang bisa kau lakukan,” aku
membujuk.
“Di luar lebih menyenangkan,” kau beralasan.
“Tapi rumah jauh lebih menenangkan. Kau lebih aman,”
“Kenapa kau begitu membela rumah? Aku tadinya ingin
mengajakmu pergi juga,” kau kecewa.
Aku mendesah pelan. Tak mengerti apa lagi yang mesti
kukatakan.
“Seseorang merindukanmu,” ujarku pelan.
“Tak ada yang merindukanku. Termasuk engkau,”
“Dari mana kau tahu?”
“Kau tak pernah menganggap hadirku,”
“Bukankah justru engkau yang demikian?”
“Tidak. Engkaulah yang demikian,” kau tak mau mengalah, dan
tak ingin di kalahkan. Maka aku diam.
“Aku tak ingin pulang,” dan kau mulai bersiap dengan
sepedamu.
“Seseorang merindukanmu,” ujarku lagi.
“Tak ada,” kau hendak mengayuh sepedamu.
“Ada!” aku berusaha mencegahmu.
“Siapa?” kau berbalik. Menatapku penuh amarah. Membuatku
ragu jika kau tak kan percaya dengan kata-kataku.
“Katakan! Siapa yang merindukan pecundang macam aku?”
tanyamu. Lidahku kelu.
“Mereka semua tak menginginkanku. Termasuk orang-orang yang
sejak kecil menghidupi semua orang di rumah. Mereka lebih menyukaimu. Aku hanya
pemberontak yang tak pernah memberi manfaat. Semua orang akhirnya membenciku. Dan
kau tak perlu membodohiku dengan mengatakan ada yang merindukanku. Semua orang
dusta. Aku tak bisa percaya.”
Kau melengos pergi. Padahal aku hendak mengatakannya.
“Jika aku yang merindukanmu, apakah kau percaya?”
Aku mengatakannya lirih. Hampir tak terdengar. Kau sudah
berjalan jauh. Tapi seketika itu kau menoleh ke arahku. Ya, kau menoleh. Hanya
sekejap, lalu kembali pergi dengan sepeda birumu.
Padahal, aku benar-benar
merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar