Pages

Kamis, 27 Desember 2012

Ketika jilbab dirasa kegedean


                “kok lo ribet sih, kerudung pake di dobel-dobel?” gak gerah?”
                “enggak dong, dia kan lagi sauna,”
                “sauna make taplak trus ditempelin di kepala,”
               
                “kenapa sih kur, kan lengan lo udah panjang, kok masih make apaan tuh, tambalan? Deker?”
                “blablabla..” suasana kelas makin riuh. Tiba-tiba terdengar suara ketokan penggaris kayu,
‘TOK..TOK..TOK..’
“tenang temen-temen  semuanya, jangan pada rebutan memuji penampilan saya, semua pujian bakalan saya tampung! Yang pasti, saya mengucapkan baanyak terima kasih, ternyata kalian perhatian bangeet ama saya, dari ujung sepatu sampe ujung kepala! Saya terharu..bentar, saya ambil tissue dulu..’srooooot…”
“Huuuuuuu…..!!!”
 --
Hahaha, ngakak saya kalo inget kejadian itu. Kejadiannya gak sedramatis itu sebenernya, tapi itu singkat cerita dari celotehan temen-temen tentang penampilan jilbaber selama ini. Karena saya juga jilbaber dan mengalami celotehan macam-macam pula, saya berikan sedikit dari apa yang saya pikirkan selama ini.
Yang pasti, saya cuma pengen taat-setaat-taatnya sama Yang udah ngasih saya makan, Yang ngasih saya hidup, Yang ngasih saya ortu yang superrbaekk hingga bisa melahirkan anak yang baekk begini, Yang ngasih saya muka yang cukup nyaman dipandang (yang akhir2 kalo ga berkenan ga usah dibaca-hehehehehh), dan ngasih semuanya. Pokoknya DIA perfect banget deh! Nah, kalo Dia udah ngasih itu semua, masa saya ga ngelakuin apa yang Dia minta? Ga tau terima kasih dong.
Saya selalu inget konsekuensinya, siapa nanem, dia juga yang bakal dapet hasilnya. Juga kita berbuat sesuatu di dunia ini pasti ada timbal baliknya di akhirat entar, dosa atau pahala. Termasuk menaati perintahNya dan menjauhi laranganNya, apa udah kita lakuin?
--
Saudariku sebangsa dan setanah air, jilbab itu
-ga tipis | kalo tipis sama aja pake plastik ntar
-ga ketat | ntar disangka buntelan nasi kucing
-menutup dada | jelas di surat An-Nur:31 “..Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..”
-ga make gelungan rambut yang menyebabkan punuk unta

karena aurat kita gak cuma kepala.. yaitu seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan #otomatis kaki kita juga perlu ditutupi, pake kaos kaki ;)

Saudariku masih ragu berjilbab? Gara-gara ini kah alasannya..
1. make jilbab GERAH #gerahan mana sama api nerakaa? *gamaoookkkk*
2. make jilbab KUNO #berjilbabnya lillahi ta’ala ape ngikutin gaya?
3. make jilbab RIBET dah #kata siapa? Emang udah nyoba? Enggak kok, jujur deh J dulu saya mikirnya juga gitu, ternyata pas dicoba simple kok, lebih sejuk makenya.
4. jilbabi hati dulu dehh.. #kurang setuju sama statement ini, kalo hati dulu yg ‘dijilbabi’, trus perintah Allah yang menjilbabi aurat ditaroh mana? Jilbab itu Kewajiban, bukan Kesiapan J
5. ahh gue gapunya baju panjang.. gapunya duit lagi  #saya dulu juga begitu, beneran. Pas pertama mau make jilbab, adanya Cuma baju panjang jaman TPA pas TK dulu, padahal saat itu udah SMA –skarang juga masih SMA- awalnya saya make yang itu, emang sih kekecilan. Trus pake baju ibu saya, yah jelas kedodoran. Tapi emang dasarnya Al-Qur’an itu ga pernah salah, maka benarlah surat Asy-Syarh:5-6, “bersama kesulitan ada kemudahan”. Ya, setelah kesulitan itu saya nemuin kemudahan. Dapet baju panjang banyak banget dalam seminggu, tiba-tiba dapet rejeki lebih lah, dikasih baju ama sodara lah, mungkin kamu juga, kalo niat pasti ada jalan deh ;)

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ahzab: 59)

Bersyukurlah kita tinggal di negara yang sangat aman, apalagi lingkuangnnya bagus, udah pada pake jilbab syar'i. Masih banyak saudari-saudari kita yang masih dapet banyak masalah karena jilbabnya, apalagi di Negara luar sana.
Tinggalkan legging dan segala pakaian yang nyekek di badan dan leher, ga baik loohhh :))

Sudariku, segera tutup auratmu dengan syar’I ya, segera saja, jangan ragu, karrena ajal tidak menunggu taubatmu :)

sedikit ini semoga bermanfaat, assalaamu'alaykum wr.wb :))

Senin, 24 Desember 2012

dibalik namaku, ada mereka

       "Mbak Na nggak marah kok.. Tapi, kalo kalian mau ngambil pensil, bolpen, spidol, atau yang lain, bilang dulu sama Mbak Na, ya!" pesanku sambil mengeluarkan sebuah bolpen, sesuai pinta anak umur tiga tahun yang sangat menggemaskan itu.
       "Ndak yang itu," bocah itu berujar dengan nada yang lucu, saat melihat bolpen yang ku keluarkan, bukan bolpen yang itu pintanya.
       "Trus yang mana? Ini?" tanyaku sambil menunjukkan bolpen yang lain. Bocah itu mengangguk, lalu ku berikan bolpennya.
       "Nanti kembaliin ke Mbak Na lagi ya..makasih." kataku sambil tersenyum. Bocah itu tak seperti biasanya, ia lebih manis -kepadaku-.
--
       "Nak, mau kemana?" tanya seorang ibu yang terdengar samar dari kamarku.
       "Balikin bolpennya Mbak Na." jawab bocah kecil yang suaranya sangat kukenal, 
    "Licin, nak. Bolpennya gak kamu balikin gapapa, Mbak Na pasti gak akan marah." Beberapa saat kemudian, seorang anak masuk ke kamarku. Bukan bocah yang tadi, tapi bocah yang lain, dua tahun lebih tua dari bocah sebelumnya. Aku tersenyum, mengucapkan, "terima kasih"
       Aku bukannya tidak mau bolpenku tidak kembali. Mau mereka simpan selama-lamanyapun, aku tidak akan marah. Aku hanya mengajarkan kepada mereka satu hal, tanggung jawab.

    Aku punya banyak keponakan yang sering sekali mampir ke rumahku, dan ada juga yang tinggal denganku. Anak-anak umur tiga, lima, enam, sampai sepuluh tahun ada. Bagi mereka, aku sedikit 'galak'. Entah karena mukaku yang terlihat judes atau karena sikapku yang dingin. Aku dan adikku punya perbedaan dalam hal ini. Anak-anak suka sekali bermain dengan adik perempuanku -Lia. Tapi mereka justru jarang bermain denganku, bahkan tidak pernah.
       Sebenarnya aku tidak sedingin itu. Aku suka anak-anak, tapi aku lebih suka mendidik mereka dengan baik. Kamarku berjarak dua kamar dengan sebuah kamar yang sering ditempati anak-anak itu untuk berkumpul dan bermain, kamar Vina. Bocah kecil yang meminjam bolpenku tadi sore. Bocah yang imut sekali. Tapi entah kenapa, aku dan Vina 'bermusuhan' sejak beberapa waktu terakhir. Setiap melihatku, ia berkata kasar, sering mengusirku bila aku masuk kamarnya, bahkan memukul. Aku sempat menangis, bukan karena dipukul. Tapi karena bocah itu, bocah sekecil itu, seimut itu, semenggemaskan itu bisa kasar. Tidak hanya padaku, tapi juga ayah, ibuku, dan orang lain. Anak-anak nakal memang normal, tapi anak itu berbeda. Ia pintar bicara, tapi bicaranya salah. Ia meniru cara bicara orang dewasa yang keliru, dan dibiarkan berbulan-bulan. Sedih melihat anak itu.. Itu bukan salahnya, tapi salah asuhannya. Aku tidak hendak menyalahkan siapapun, maka aku mencoba mendidiknya sebisaku. mengajarinya berkata halus kepada orang yang lebih tua, mengajarinya mengucapkan terima kasih, termasuk mengajarinya tanggung jawab. dan pinjam bolpen tadi sore cukup membuatku senang, karena ia tidak aksar seperti biasanya.

       Dulu, aku punya keponakan favorit. seorang bocah laki-laki bernama Vito. saat itu umurnya 5 tahun, dan umurku 12 tahun. Sejak kecil ia memanggilku "Mbak Na". Padahal namaku Nia. Simpel saja, lidah anak-anaknya belum mampu memanggil namaku dengan sempurna, sehingga ketika memanggilku, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah "Mbak Na". Itupun juga untuk membedakanku dengan adikku, 'Mbak Lia' yang luruh menjadi Mbak Ia. Dan saat itu, lima tahun yang lalu di bulan Januari, adalah perayaan ulang tahun terakhirnya,
       "Vito! Nanti malem Mbak Na punya kadoo buat kamu!" sengaja kubocorkan kejutan itu.
       "Kadonya apa?" tanya Vito.
       "Kereta! Vito suka kereta, kan?" mendengar 'kereta', ia kegirangan. Barang favoritnya adalah kereta dan kuda. Kereta-kuda. Kado yang ku berikan tentu bukan kereta sungguhan. Tapi cuma kereta mainan yang berjalan berputar di atas rel plastik.
       Malam itu sudah banyak orang berdatangan di rumah Vito: kakek, nenek, paman, bibi, saudara-saudara dan tetangga-tetangganya. Tapi Vito marah-marah ketika pestanya hendak dimulai.
       "Nunggu mbak Na dulu! Gak boleh dimulai kalo mbak Na belum kesini!"
       Semenit kemudian, aku datang. Bersama ibu dan Lia. Vito yang melihatku membawa sebuah kotak, kegirangan. Aku segera memberikan kotak itu kepadanya, yang langsung disambarnya dan dibuka bungkusnya. Vito segera masuk ke dalam rumahnya, diikuti anak-anak yang penasaran dengan kado pertamanya. Acara ulang tahun sederhana itupun dimulai. Walaupun begitu, Vito lebih memerhatikan mainan barunya. Ia memasang rel dan mulai memainkan keretanya.


       Itu Vito, lima tahun yang lalu. Kalau ia masih hidup, sekarang umurnya sudah sepuluh tahun. Sudah kelas 4 SD mungkin, setahun lebih tua dari adiknya, Dira. Vito sudah meninggal lima tahun yang lalu, tepatnya saat berumur lima tahun. Vito yang ganteng, yang perutnya buncit, tinggallah foto di ruang tamu. Foto yang cukup besar, fotonya saat naik kuda di Tawang Mangu. Foto aslinya berlatar warung-warung di dataran tinggi, tapi diganti ayahnya dengan pegunungan 'Amerika'. Vito lebih suka latar yang warung, lebih natural. Saking sukanya dengan kuda, keramik kuburannya pun bergambar kuda. Sempat ada patung juga di atas kuburannya, patung kuda. Tapi hilang entah kemana.

       Sekarang, aku sudah jarang bermain dengan anak-anak. Bukan karena kepergian Vito, tapi entah kenapa mereka takut denganku. Aku memang judes, tapi hanya sebatas paras. Kadang aku bercanda dengan mereka, mereka tertawa, tapi masih menatapku dengan tatapan aneh. Mungkin dalam hati mereka, 'orang segalak ini ternyata bisa tertawa dengan kita'. Tapi itu beberapa waktu yang lalu, sudah lama. Sekarang, ketika hendak merajut canda itu kembali, aku bingung harus memulainya dari mana.
       Aku sering memasak jamur goreng tepung (JGT) dan membuat jus jambu (JJ). Mereka sering melihatku membuatnya, terutama Vina yang tinggal serumah denganku, lalu berkata dengan mantap, "Aku minta aku minta!" tapi tidak dengan Vina. Ia diam, tapi kalau dikasih ya mau. Pernah juga waktu kulihat dia ngiler melihat JGT di atas meja.
       "Vina mau?" aku menawarkan JGT andalanku. Yang ditanya menggeleng, lalu lari menuju kamarnya. Aku salah apa? Bukannya tadi dia ngiler?
     
--

Cerita tanpa kesimpulan, entah benang merah apa yang bisa kutarik. Yang pasti, aku berusaha mendidik anak-anak dengan baik. Karena suatu saat nanti, merekalah yang berperan dalam perkembangan tiap anak yang lahir ke dunia. Karena mereka adalah 'lingkungannya'. Dan perkembangan seorang anak tidaklah lepas dari pengaruh lingkungannya.

Semoga menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah, Fian, Dira, Arya, Putri, Raja, Sasa, Vina, Aurel, Raja, dan keponakan-keponakan jawa barat yang tak bisa kusebutkan satu persatu saking banyaknya. Semoga kalianlah yang berperan dalam perubahan besar positif kelak!

kiri ke kanan: Putri, Vina, Lala

Minggu, 18 November 2012

#SaveGaza di Yogyakarta

lewat malioboro.. ketemu banyak manusia dengn teriakan "ALLAHU AKBAR" beserta bendera palestina