Pages

Senin, 24 Desember 2012

dibalik namaku, ada mereka

       "Mbak Na nggak marah kok.. Tapi, kalo kalian mau ngambil pensil, bolpen, spidol, atau yang lain, bilang dulu sama Mbak Na, ya!" pesanku sambil mengeluarkan sebuah bolpen, sesuai pinta anak umur tiga tahun yang sangat menggemaskan itu.
       "Ndak yang itu," bocah itu berujar dengan nada yang lucu, saat melihat bolpen yang ku keluarkan, bukan bolpen yang itu pintanya.
       "Trus yang mana? Ini?" tanyaku sambil menunjukkan bolpen yang lain. Bocah itu mengangguk, lalu ku berikan bolpennya.
       "Nanti kembaliin ke Mbak Na lagi ya..makasih." kataku sambil tersenyum. Bocah itu tak seperti biasanya, ia lebih manis -kepadaku-.
--
       "Nak, mau kemana?" tanya seorang ibu yang terdengar samar dari kamarku.
       "Balikin bolpennya Mbak Na." jawab bocah kecil yang suaranya sangat kukenal, 
    "Licin, nak. Bolpennya gak kamu balikin gapapa, Mbak Na pasti gak akan marah." Beberapa saat kemudian, seorang anak masuk ke kamarku. Bukan bocah yang tadi, tapi bocah yang lain, dua tahun lebih tua dari bocah sebelumnya. Aku tersenyum, mengucapkan, "terima kasih"
       Aku bukannya tidak mau bolpenku tidak kembali. Mau mereka simpan selama-lamanyapun, aku tidak akan marah. Aku hanya mengajarkan kepada mereka satu hal, tanggung jawab.

    Aku punya banyak keponakan yang sering sekali mampir ke rumahku, dan ada juga yang tinggal denganku. Anak-anak umur tiga, lima, enam, sampai sepuluh tahun ada. Bagi mereka, aku sedikit 'galak'. Entah karena mukaku yang terlihat judes atau karena sikapku yang dingin. Aku dan adikku punya perbedaan dalam hal ini. Anak-anak suka sekali bermain dengan adik perempuanku -Lia. Tapi mereka justru jarang bermain denganku, bahkan tidak pernah.
       Sebenarnya aku tidak sedingin itu. Aku suka anak-anak, tapi aku lebih suka mendidik mereka dengan baik. Kamarku berjarak dua kamar dengan sebuah kamar yang sering ditempati anak-anak itu untuk berkumpul dan bermain, kamar Vina. Bocah kecil yang meminjam bolpenku tadi sore. Bocah yang imut sekali. Tapi entah kenapa, aku dan Vina 'bermusuhan' sejak beberapa waktu terakhir. Setiap melihatku, ia berkata kasar, sering mengusirku bila aku masuk kamarnya, bahkan memukul. Aku sempat menangis, bukan karena dipukul. Tapi karena bocah itu, bocah sekecil itu, seimut itu, semenggemaskan itu bisa kasar. Tidak hanya padaku, tapi juga ayah, ibuku, dan orang lain. Anak-anak nakal memang normal, tapi anak itu berbeda. Ia pintar bicara, tapi bicaranya salah. Ia meniru cara bicara orang dewasa yang keliru, dan dibiarkan berbulan-bulan. Sedih melihat anak itu.. Itu bukan salahnya, tapi salah asuhannya. Aku tidak hendak menyalahkan siapapun, maka aku mencoba mendidiknya sebisaku. mengajarinya berkata halus kepada orang yang lebih tua, mengajarinya mengucapkan terima kasih, termasuk mengajarinya tanggung jawab. dan pinjam bolpen tadi sore cukup membuatku senang, karena ia tidak aksar seperti biasanya.

       Dulu, aku punya keponakan favorit. seorang bocah laki-laki bernama Vito. saat itu umurnya 5 tahun, dan umurku 12 tahun. Sejak kecil ia memanggilku "Mbak Na". Padahal namaku Nia. Simpel saja, lidah anak-anaknya belum mampu memanggil namaku dengan sempurna, sehingga ketika memanggilku, kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah "Mbak Na". Itupun juga untuk membedakanku dengan adikku, 'Mbak Lia' yang luruh menjadi Mbak Ia. Dan saat itu, lima tahun yang lalu di bulan Januari, adalah perayaan ulang tahun terakhirnya,
       "Vito! Nanti malem Mbak Na punya kadoo buat kamu!" sengaja kubocorkan kejutan itu.
       "Kadonya apa?" tanya Vito.
       "Kereta! Vito suka kereta, kan?" mendengar 'kereta', ia kegirangan. Barang favoritnya adalah kereta dan kuda. Kereta-kuda. Kado yang ku berikan tentu bukan kereta sungguhan. Tapi cuma kereta mainan yang berjalan berputar di atas rel plastik.
       Malam itu sudah banyak orang berdatangan di rumah Vito: kakek, nenek, paman, bibi, saudara-saudara dan tetangga-tetangganya. Tapi Vito marah-marah ketika pestanya hendak dimulai.
       "Nunggu mbak Na dulu! Gak boleh dimulai kalo mbak Na belum kesini!"
       Semenit kemudian, aku datang. Bersama ibu dan Lia. Vito yang melihatku membawa sebuah kotak, kegirangan. Aku segera memberikan kotak itu kepadanya, yang langsung disambarnya dan dibuka bungkusnya. Vito segera masuk ke dalam rumahnya, diikuti anak-anak yang penasaran dengan kado pertamanya. Acara ulang tahun sederhana itupun dimulai. Walaupun begitu, Vito lebih memerhatikan mainan barunya. Ia memasang rel dan mulai memainkan keretanya.


       Itu Vito, lima tahun yang lalu. Kalau ia masih hidup, sekarang umurnya sudah sepuluh tahun. Sudah kelas 4 SD mungkin, setahun lebih tua dari adiknya, Dira. Vito sudah meninggal lima tahun yang lalu, tepatnya saat berumur lima tahun. Vito yang ganteng, yang perutnya buncit, tinggallah foto di ruang tamu. Foto yang cukup besar, fotonya saat naik kuda di Tawang Mangu. Foto aslinya berlatar warung-warung di dataran tinggi, tapi diganti ayahnya dengan pegunungan 'Amerika'. Vito lebih suka latar yang warung, lebih natural. Saking sukanya dengan kuda, keramik kuburannya pun bergambar kuda. Sempat ada patung juga di atas kuburannya, patung kuda. Tapi hilang entah kemana.

       Sekarang, aku sudah jarang bermain dengan anak-anak. Bukan karena kepergian Vito, tapi entah kenapa mereka takut denganku. Aku memang judes, tapi hanya sebatas paras. Kadang aku bercanda dengan mereka, mereka tertawa, tapi masih menatapku dengan tatapan aneh. Mungkin dalam hati mereka, 'orang segalak ini ternyata bisa tertawa dengan kita'. Tapi itu beberapa waktu yang lalu, sudah lama. Sekarang, ketika hendak merajut canda itu kembali, aku bingung harus memulainya dari mana.
       Aku sering memasak jamur goreng tepung (JGT) dan membuat jus jambu (JJ). Mereka sering melihatku membuatnya, terutama Vina yang tinggal serumah denganku, lalu berkata dengan mantap, "Aku minta aku minta!" tapi tidak dengan Vina. Ia diam, tapi kalau dikasih ya mau. Pernah juga waktu kulihat dia ngiler melihat JGT di atas meja.
       "Vina mau?" aku menawarkan JGT andalanku. Yang ditanya menggeleng, lalu lari menuju kamarnya. Aku salah apa? Bukannya tadi dia ngiler?
     
--

Cerita tanpa kesimpulan, entah benang merah apa yang bisa kutarik. Yang pasti, aku berusaha mendidik anak-anak dengan baik. Karena suatu saat nanti, merekalah yang berperan dalam perkembangan tiap anak yang lahir ke dunia. Karena mereka adalah 'lingkungannya'. Dan perkembangan seorang anak tidaklah lepas dari pengaruh lingkungannya.

Semoga menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah, Fian, Dira, Arya, Putri, Raja, Sasa, Vina, Aurel, Raja, dan keponakan-keponakan jawa barat yang tak bisa kusebutkan satu persatu saking banyaknya. Semoga kalianlah yang berperan dalam perubahan besar positif kelak!

kiri ke kanan: Putri, Vina, Lala

6 komentar:

  1. vito mana mbak Na???
    aku pengen liat fotonya :)

    mbak Na ayo semangat..

    BalasHapus
  2. jangan ikut2an panggil mbakNa!! kaya anak kecil
    fotonya vito nyusul

    BalasHapus
  3. hahahahahaha....... :p
    biarin..... Mbak NA... :D

    kapan nyusul e?? :D

    BalasHapus
  4. Pemikiran yang luar biasa, girl :)
    begitulah anak-anak,.
    kita memang perlu tanamkan pendidikan karakter,, tapi yang perlu kita ketahui sebagai calon ibu adalah bagaimana mengetahui karakter anak, dan bagaimana menyikapi mereka.
    Karna setiap anak itu unik, dan hanya dapat disikapi dengan cara yang unik pula ;)

    BalasHapus
  5. bener bangeet
    belajar dari anak-anak cukup bikin kita mikir berkali-kali, betapa polosnya mereka dan betapa kita harus bisa mendidik mereka denagn baik

    BalasHapus